Film Laskar Pelangi Kurang Greget

Akhirnya tradisi nonton film di bioskop di hari raya idul fitri mulai ada lagi. Jadi ingat dulu, waktu masih kecil berdua dengan adik cewek, setiap lebaran di Bandung (kalau 'ga mudik), pasti selalu nonton film Warkop DKI (Dono Kasino Indro) di bioskop. Huahaha..

Meski film Laskar Pelangi launching tanggal 25 September 2008, tapi karena aku ingin nontonnya sama Uda Dewa, akhirnya niat itu kesampaian juga saat Uda datang ke rumah di hari kedua lebaran dari Kuningan ke Bandung. Langsung meluncur ke Ciwalk XXI, ngambil yang jam 16.45.

Film Laskar Pelangi

Jika dilihat dari segi pengambilan gambar, pemandangan dan kehidupan di Belitong, film Laskar Pelangi ini memang bagus. Namun jika diperhatikan dari segi alur ceritanya, ada beberapa scene yang terkesan dipaksa harus "ada" dan agak jadi 'ga nyambung. Maklum, sebagai pecinta Laskar Pelangi, aku ingin film Laskar Pelangi sama bagusnya dengan filmya juga.

Bagi yang sudah nonton, mungkin masih ingat dengan scene --> orang2 sibuk bawa obor dan Flo yang berada di tengah kegelapan? Bagi yang tidak membaca bukunya, akan menjadi bingung. Aku sendiri yang sudah baca bukunya, malah jadi kaget, ko' tiba-tiba ada adegan itu, 'ga nyambung lagi, terlalu dipercepat.

Begitu juga dengan scene saat anak-anak Laskar Pelangi bertemu dengan Tuk Bayan Tula. Dalam fantasiku saat membaca bukunya, situasi saat itu terasa sangat menyeramkan dan menegangkan. Tetapi di filmnya, aku tidak merasakannya sama sekali.

Namun ada juga scene yang terbilang kreatif dalam hal pengaplikasiannya oleh Miles Production dari buku kepada film. Dalam buku Laskar Pelangi, kita ketahui bahwa toko kelontong Bapaknya A Ling sangat bau, bau ikan yang sangat menyengat. Namun setelah Ikal melihat kuku indahnya A Ling, bau ikan itu menghilang seketika. Nah, oleh Mas Riri Riza, pemahaman seperti itu diaplikasikannya dengan cara membuat bunga-bunga berterbangan, menggantikan sulitnya untuk mengekspresikan bau ikan ke dalam bentuk nyata ke sebuah film yang hanya berdurasi 2 jam. Cerdas!!

Sebelum nonton, aku sempat mendengar dari adikku yang laki-laki (nonton pada tanggal 26.09.08 dan belum baca bukunya sama sekali), katanya lucu. Dari adikku yang perempuan (baru baca setengah buku), kurang greget katanya. Dan setelah aku dan Uda Dewa nonton (sudah baca 3 bukunya Andrea Hirata) , something missing.. Yeaahh, meski begitu rasa penasaran ingin melihat Laskar Pelangi yang "hidup" dalam bentuk film, terjawab sudah.

Oia, salut buat film Laskar Pelangi ini. Meski udah seminggu tayang di bioskop Ciwalk XXI, tetap saja masih 3 studio dengan kursi yang terisi penuh. Hebat!!

5 komentar:

  1. kurang greget gimana..?? aku mah tgu versi yg di CDnya aja.. kira2 udah ada ya..??

    ReplyDelete
  2. maksudnya DVD kali ya? kayaknya belum deh..aku juga nungguin (mudah2an diproduksi), buat koleksi juga..

    ReplyDelete
  3. Itu tiket... meni di-scan segala =))
    Secara umum memang cukup sulit mentransformasi ramuan kata-kata dalam Buku Laskar Pelangi menjadi sebuah film. Apalagi LP memiliki banyak penggemar fanatik yang telah memiliki "film" dalam benak masing2.
    Tapi setidaknya Mira dan Riri termasuk yang tebaik dan pantas mendapat kepercayaan dari Andrea. Daripada dibikin film oleh pihak lain dan dicampur bumbu India :))

    ReplyDelete
  4. Pacha seh 'ga mo difoto di dkt gbr Laskar Pelangi wkt di XXI, jadi az tiketnya yg nampang :p

    Kayak AAC geto yaa? :D

    ReplyDelete
  5. kalau menurut saya Filmnya lebih bagus daripada novelnya laskar pelangi, riri reza dan mira lesmana sangat cerdas membawa alur cerita kepada yang lebih realistis.

    Dalam novel mahar menyanyikan lagu Tennese Waltz karya Anne Muray sedangkan dalam film mahar menyanyikan lagu seroja yang merupakan lagu melayu. ada juga lintang yang sudah pandai memakai rumus integral tanpa adanya perhitungan secara tertulis, perdebatan lintang dan drs zulfikar guru fisika teladan pn timah yang terlalu meninggi.

    lagu begadang-2 dalam film memang merupakan lagu yang lagi ngetren dibelitong pada tahun itu.

    sedangkan di film cerita lebih realistis dan natural.

    Andrea terlalu berlebihan dalam menulis sebuah karya sastra tanpa disertai data-data yang benar.

    Adanya beberapa bagian yang ditiadakan dalam film seperti trapani yang menjadi gila karena ketergantungan sama ibunya, societeit de limpai yang mengunjungi pulau lanun, tuk bayan tula. adalah merupakan hal yang wajar karena banyak hal-hal yang dianggap tidak mungkin dilakukan oleh anak seusia itu dan disisi lain dianggap sisi negatif seseorang sehingga tidak patut dipertontonkan atau di tiru

    dan dalam hal ini pembaca laskar pelangi jangan terlalu berlebih-lebihan dalam membaca atau memuji laskar pelangi, andrea terlalu emosional dalam menulis. dan andrea pun mengakui kalau filmnya lebih bagus dari novelnya.

    so bagi pembaca yang sekaligus menonton filmnya jangan kecewa terhadap filmnya. justru harus lebih kritis terhadap novelnya...

    ReplyDelete

Pengen komentar, usul, kritik? Sah-sah az..ga bole malu2 yaaa =))